ROKAN HULU | Metroterkini.com — Dunia pendidikan di Rokan Hulu dinilai sok birokratis, diskriminatif, dan kerap abai pada hati nurani. Seorang siswi kelas 1 SMPN 2 Tambusai, Tasya Boru Purba, dikeluarkan dari sekolah hanya karena dianggap terlalu tua satu tahun dibanding teman-temannya.
Kasus ini mencuat setelah ibunya, yang tak kuasa menahan kecewa, bercerita kepada sejumlah awak media. Ia menyebut anaknya resmi dikeluarkan sejak Agustus 2025 tanpa surat resmi atau alasan tertulis dari pihak sekolah.
Yang lebih mencengangkan, kepala sekolah disebut meminta agar tahun kelahiran Tasya diubah dari 2009 menjadi 2010, agar terlihat umurnya normal di antara siswa lain. Permintaan itu bukan sekadar absurd, tapi juga berpotensi melanggar hukum administrasi kependudukan, karena menyangkut dokumen resmi negara.
“Saya diminta ubah akte dan KK jadi tahun 2010. Tapi di Disdukcapil Rokan Hulu saya ditolak. Mereka bilang, beda umur satu tahun bukan alasan anak dilarang sekolah,” tutur ibu Tasya kepada awak media, Kamis (23/10/2025).
Permintaan mengubah data kependudukan demi menyesuaikan standar umur ideal adalah bentuk manipulasi yang tak seharusnya keluar dari mulut seorang pendidik. Ironisnya, saat orang tua menolak melanggar hukum, sekolah justru memilih menyingkirkan anaknya.
Kini Tasya terpaksa di rumah. Ia kehilangan semangat belajar dan merasa diasingkan dari dunia yang seharusnya mendidiknya. “Dia menangis tiap kali dengar teman-temannya berangkat sekolah,” ujar sang ibu.
Upaya media mengonfirmasi kebenaran peristiwa ini kepada Kepala Sekolah SMPN 2 Tambusai menemui jalan buntu. Telepon tak diangkat, pesan WhatsApp tak dibalas. Wali kelas pun memilih bungkam.
Sikap diam serentak ini justru menguatkan dugaan bahwa sekolah tengah menutup rapat-rapat bau busuknya sendiri.
Media juga mencoba meminta tanggapan dari Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Rokan Hulu, berharap ada penjelasan resmi. Jawaban yang datang justru menampar logika publik.
“Sedang berobat,” tulis pejabat itu singkat melalui pesan teks.
Tak ada penjelasan lanjutan, tak ada itikad menyelidiki, seolah urusan seorang anak yang kehilangan hak pendidikannya bukan perkara penting.
Kasus Tasya bukan sekadar cerita tentang seorang siswi yang dikeluarkan. Ini adalah potret betapa lemahnya sistem pengawasan pendidikan daerah dan hilangnya empati di ruang yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa.[man]