Metroterkini.com - Seorang bapak bernama Fazal, rela menjual dua anak perempuannya untuk dinikahi demi menghidupi keluarganya di tengah krisis ekonomi.
Krisis terjadi sejak rezim Taliban berkuasa. Fazal pekerja di pabrik batu bara, krisis ekonomi di Afghanistan membuat Fazal harus berhadapan dengan dua pilihan sulit, yakni menikahkan putri-putrinya yang masih kecil, atau merelakan keluarganya mati kelaparan.
Bulan lalu, Fazal akhirnya menjual kedua putrinya yang berusia 13 dan 15 tahun untuk menikah dengan laki-laki berumur terpaut jauh di atas mereka.
Dari penjualan anak itu, Fazal menerima $3,000 atau setara Rp42 juta. Jika uangnya habis, Fazal mungkin harus menjual anak perempuannya yang berumur 7 tahun.
"Saya tidak memiliki cara lain untuk memberi makan keluarga saya dan melunasi utang saya. Apa lagi yang bisa saya lakukan? Saya sangat putus asa dan berharap saya tak harus menjual anak perempuan termuda saya," kata Fazal kepada Reuters.
Fazal sebenarnya sudah mendapatkan gaji US$1.000 atau setara Rp14 juta untuk mengerjakan proyek selama enam bulan.
Karena krisis ekonomi di Afghanistan, perusahaan berhenti beroperasi. Perusahaan lantas meminta Fazal mengembalikan gaji yang sudah dibayarkan di depan.
Namun, Fazal tak bisa mengembalikan uang itu karena sudah dipakai untuk biaya pengobatan istrinya yang sakit. Akibat tak bisa mengembalikan uang itu, Fazal terpaksa menjual anak perempuannya untuk menikah.
Menurut penduduk setempat, banyak pekerja batu bara lain di Afghanistan juga harus menjual anak perempuan mereka untuk menikah.
Data nasional Afghanistan terbaru menunjukkan 28 persen anak perempuan di Afghanistan menikah sebelum mereka mencapai usia 18 tahun, dan 4 persen lainnya menikah sebelum usia 15 tahun.
Sejak Taliban menguasai Afghanistan, pernikahan anak di negara itu meningkat. Ada beberapa orang tua miskin bahkan menjanjikan bayi perempuan mereka untuk menikah di masa depan, supaya keluarganya bisa mendapatkan mas kawin.
Kelompok aktivis perempuan Afghanistan memprediksi kekuasaan Taliban pernikahan perempuan secara dini naik hingga dua kali lipat.
"Mendengar cerita-cerita ini membuat hati hancur. Ini bukanlah pernikahan. Ini pemerkosaan anak," kata juru kampanye hak-hak perempuan Afghanistan, Wazhma Frogh.
Menurut Frogh, beberapa keluarga menjual anak perempuan mereka untuk mengurangi jumlah orang yang harus diberi makan.
Tak hanya itu, para keluarga juga ingin mendapatkan mas kawin yang besarannya sekitar $500 (Rp7 juta) hingga $2,000 (Rp28 juta). Anak yang lebih muda mendapatkan bayaran lebih tinggi.
UNICEF mengungkap, satu laporan kredibel menunjukkan ada keluarga yang menawarkan anak perempuan mereka yang baru hidup selama 20 hari untuk menikah di masa depan, demi imbalan mas kawin.
Tak hanya itu, banyak pula orang tua menjual anak mereka untuk membayar utang. Ada kasus di mana pemilik tanah mengambil anak perempuan 9 tahun karena ayah si anak tak mampu membayar sewa, kata Frogh.
Frogh juga menceritakan kasus seorang ayah yang meninggalkan kelima anaknya di sebuah masjid karena tidak bisa memberi makan mereka. Ketiga gadis itu, semuanya diperkirakan berusia di bawah 13 tahun, kemudian dinikahkan pada hari yang sama.
"Jumlah kasus telah meningkat pesat karena kelaparan. Orang tidak punya apa-apa dan tidak bisa memberi makan anak-anak mereka. Ini sepenuhnya ilegal dan tidak diperbolehkan dalam agama," tutur Frogh.
Frogh mengatakan bawha perempuan yang masih muda berisiko tinggi mengalami pemerkosaan dalam perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi, dan komplikasi kehamilan berbahaya.
"(Pernikahan) itu menghancurkan hidup mereka, secara psikologis, emosi, fisik, dan kesehatan seksual. Perempuan-perempuan ini sering diperlakukan bak pelayan dan budak," kata aktivis perempuan Afghanistan lain, Jamila Afghani.
Krisis ekonomi di Afghanistan memang kian parah setelah Taliban berkuasa karena berbagai entitas internasional mencabut bantuan ke negara itu. Sejumlah negara juga membekukan aset Afghanistan.
Di tengah krisis ini, Taliban lantas memohon Kongres Amerika Serikat agar dapat mencairkan aset Afghanistan bernilai miliaran dolar.
Menteri Luar Negeri Afghanistan di rezim Taliban, Amir Khan Muttaqi, menyatakan ancaman terbesar yang dialami Afghanistan saat ini adalah masalah finansial.
"Akar dari masalah ini adalah aset warga negara kami dibekukan oleh pemerintah Amerika," kata Muttaqi seperti dikutip AFP.
"Kami berharap anggota Kongres Amerika Serikat akan memikirkan dengan serius permintaan kami ini. Saya minta, agar pintu hubungan di masa depan terbuka, aset bank sentral Afghanistan dicairkan dan sanksi atas bank kami dicabut." [**]