Metroterkini.com - Korban tewas di Sudan naik jadi 40 orang akibat dari aksi protes anti-kudeta sejak pengambilalihan militer bulan lalu.
Hal ini diungkap petugas medis, Sabtu (20/11) setelah seorang remaja meninggal akibat ditembak di kepala beberapa hari sebelumnya.
Pada 25 Oktober, Jenderal tertinggi Sudan Abdel Fattah al-Burhan melakukan kudeta dengan mengumumkan keadaan darurat, menggulingkan pemerintah, dan menahan para pemimpin sipil.
Kudeta militer itu mementahkan transisi ke pihak sipil yang dua tahun belakangan telah dilakukan. Hal ini juga menarik kecaman dan hukuman internasional. Warga pun terpancing untuk turun ke jalan menggelar protes.
Protes yang terjadi pada Rabu menjadi hari yang paling mematikan sejauh ini. Menurut petugas medis, saat ini jumlah tewas dari peristiwa itu mencapai 16.
"Satu martir meninggal ... setelah dia meninggal karena luka parah setelah terkena peluru tajam di kepala dan kakinya pada 17 November," kata Komite Sentral Dokter Sudan yang independen. "Dia berusia 16 tahun," tambahnya.
Sebagian besar dari mereka yang tewas pada Rabu berada di Khartoum Utara, yang terletak di seberang sungai Nil dari ibu kota.
Pejabat polisi menyangkal mereka menggunakan peluru tajam untuk mengendalikan massa. Ia bersikeras mereka telah menggunakan "kekuatan minimum" untuk membubarkan protes. Mereka hanya mencatat satu kematian, di antara para demonstran di Khartoum Utara.
Sebelumnya pada Jumat (19/11), sekelompok kecil pengunjuk rasa berunjuk rasa di beberapa lingkungan setelah berdoa menentang kudeta militer, terutama di Khartoum Utara, di mana orang-orang terlihat membangun barikade di seberang jalan. Pasukan keamanan secara sporadis menembakkan gas air mata untuk membubarkan mereka.
Amerika Serikat pada hari Jumat mengutuk tindakan keras yang mematikan itu. Washington mengatakan orang Sudan harus "bebas menyuarakan pendapat mereka.
Sudan memiliki sejarah panjang kudeta militer, hanya menikmati selingan pemerintahan demokratis yang jarang terjadi sejak kemerdekaan pada tahun 1956.
Burhan, jenderal tertinggi, menegaskan langkah militer "bukan kudeta" tetapi langkah "untuk memperbaiki transisi" ketika pertikaian antar faksi dan perpecahan semakin dalam antara warga sipil dan militer di bawah pemerintahan yang mereka gulingkan. [cnni]