Metroterkini.com - Jumlah korban meninggal dalam bentrokan antara pedemo pro-demokrasi dan aparat keamanan Myanmar nyaris mencapai 600 orang.
Menurut data Lembaga Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar (AAPP) hingga Rabu (7/4), sampai saat ini 598 orang meninggal dalam bentrokan itu.
Sedangkan pada hari ini, Kamis (8/4), jumlah pedemo di Kota Taze yang meninggal mencapai 11 orang. Dilansir Reuters, para pedemo itu meninggal akibat markas mereka diserbu aparat keamanan.
Menurut keterangan saksi, aparat Myanmar datang menggunakan enam truk langsung ke pusat aksi unjuk rasa di Kota Taze. Dalam bentrokan itu, para pedemo melawan dengan senjata rakitan, pisau dan bom molotov.
Akan tetapi, persenjataan dan taktik mereka tidak mampu menahan serbuan aparat keamanan Myanmar. Selain korban tewas, sebanyak 20 orang luka-luka dalam kejadian itu.
Sementara dari pihak aparat keamanan tidak ada korban jiwa maupun luka.
Sedangkan dalam bentrokan antara pedemo dan aparat keamanan di Kota Kale kemarin, sebanyak 12 orang meninggal. Para saksi mengatakan aparat keamanan menggunakan senjata api dengan peluru tajam, senapan mesin hingga granat untuk menghadapi demonstran.
"Penduduk Taze dan Kale banyak yang berprofesi sebagai pemburu di hutan. Mereka punya senjata rakitan, dan sekarang mereka turun ke jalan membawa senjata itu untuk melindungi penduduk setempat dari serangan tentara junta," kata seorang aktivis dan penduduk setempat, Hein Min Hteik.
Penduduk di kawasan pedalaman dan perbatasan Myanmar juga banyak yang lari ke wilayah negara tetangga yakni Thailand untuk menghindari perang saudara. Sebab, sejumlah kelompok milisi etnis menyatakan siap berperang dengan junta Myanmar menuntut pemerintahan demokratis.
Menanggapi aksi unjuk rasa, Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, meminta demonstrasi diakhiri karena mengganggu ritme kerja rumah sakit, sekolah, arus lalu lintas, perkantoran dan kawasan industri.
"Aksi membangkang menghancurkan negara ini," kata Min dalam pidato yang disiarkan stasiun televisi pemerintah.
Menurut analisis lembaga riset Fitch Solutions, dampak dari berbagai sanksi yang dijatuhkan terhadap junta militer Myanmar untuk memulihkan pemerintahan demokrasi di negara itu sangat kecil. Namun, menurut mereka hal itu membuat junta Myanmar kehilangan kendali di sejumlah sektor.
Mereka juga memperkirakan jika konflik terus meruncing, maka perang saudara yang mengarah kepada revolusi antara junta Myanmar dan kelompok milisi serta oposisi bisa terjadi kapan saja. Apalagi sebagian besar masyarakat Myanmar mendukung pemerintahan yang dipimpin Aung San Suu Kyi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
"Kekerasan yang dilakukan warga sipil dan milisi etnis dengan aparat Myanmar memperlihatkan junta kehilangan kendali," demikian isi laporan Fitch Solutions. [**]