Metroterkini.com - Komisi Hak Asasi Manusia Arab Saudi menyatakan negara mereka telah memutuskan untuk menghapus hukuman cambuk. Pernyataan yang dikeluarkan pada Sabtu (25/4) tersebut, mereka sebut sebagai sebuah langkan besar dalam program reformasi yang diluncurkan oleh raja dan putra Arab Saudi.
Penghapusan hukuman cambuk tersebut terjadi hanya beberapa hari setelah catatan hak asasi manusia kerajaan kembali menjadi sorotan menyusul berita kematian aktivis terkemuka Abullah al-Hamid, 69 di tahanan beberapa waktu lalu.
Dengan keputusan tersebut, di masa depan, hakim harus menghukum terpidana dengan denda dan / atau hukuman penjara, atau alternatif nonpenahanan seperti layanan masyarakat.
"Keputusan ini menjamin bahwa terpidana yang sebelumnya akan dihukum cambuk mulai sekarang akan menerima denda atau hukuman penjara," kata ketuanya, Awad al-Awad seperti dikutip dari AFP, Sabtu (25/4).
Meskipun menghentikan hukuman cambuk. mereka menyatakan reformasi hukum yang diawasi oleh Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman belum memutuskan untuk menghentikan hukuman mati.
Sebagai informasi, hukuman cambuk sering diperintahkan pengadilan di Arab Saudi. Cambukan biasanya diperintahkan untuk para terpidana yang dinyatakan bersalah atas pidana mulai dari seks di luar nikah, pelanggaran perdamaian hingga pembunuhan.
Cambukan yang diberikan terkadang mencapai ratusan cambukan. Kasus hukuman cambuk paling terkenal dalam beberapa tahun terakhir menimpa blogger Saudi Raif Badawi.
Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan 1.000 cambukan pada tahun 2014 atas tuduhan "menghina" Islam. Hukuman tersebut telah lama menuai kecaman dari kelompok hak asasi manusia.
Kecaman telah berkembang sejak Raja Salman mengangkat putranya Pangeran Mohammed menjadi putra mahkota dan pewaris takhta pada Juni 2017. Maklum, Amnesti Internasional mencatat rekor 184 orang tewas tahun lalu akibat pemberlakuan hukuman yang keras di Arab Saudi.
"Semakin meningkatnya penggunaan hukuman mati di Arab Saudi, termasuk sebagai senjata melawan pembangkang politik, adalah perkembangan yang mengkhawatirkan," kata kelompok hak asasi manusia itu. [cnn]