Tari Adat Manortor, Ungkapan Syukur Kepada Tuhan

Sabtu, 25 November 2017 | 16:56:30 WIB

Metroterkini.com - Usai digelarnya Manalpokkon Lahan ni Horja atau pemotongan hewan kerbau dan Manyantan Gordang Sambilan dan Gondang, prosesi adat pernikahan Kahiyang-Ayu dalam adat Mandailing, Jumat (24/11) dilanjutkan dengan membuka galanggang manortor.

Tahap ini merupakan ritual untuk membuka gelanggang atau arena yang akan digunakan untuk panortoran. Masyarakat atau kelompok etnik Mandailing memiliki berbagai jenis kesenian tradisional sebagai warisan para leluhur yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Salah satunya adalah tari tradisional yang dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu Tortor, Sarama, dan Moncak, yang digelar pada berbagai upacara adat dan ritual seperti Haroan Boru dan Mebat (ucapara adat perkawinan), Mambulungi (upacara adat kematian), Sorang (kelahiran anak),  Mangido Udan (meminta hujan turun), dan lain-lain.

Berbagai seni tari tradisional Mandailing, terutama Tor-tor hingga sekarang sering ditampilkan dalam perayaan-perayaan akbar.

Manortor atau menari tortor di dalam prosesi perkawinan adat Mandailing antara Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu akan dilaksanakan secara berurutan oleh Suhut (tuan rumah), pengetua adat bermarga Nasution, pengetua adat bermarga Lubis, pengetua adat marga lainnya dari Mandailing, pengetua adat Tabagsel, Inanta Soripada yaitu Ibunda Bobby beserta ibu-ibu lainnya, serta Raja Panusunan, yang akan memimpin persidangan adat. Raja Panusunan pada acara perkawinan adat Bobby dan Kahiyang adalah Pandopotan Nasution bergelar Patuan Kumala Pandapotan.

“Seni tari yang disebut tortor memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali dengan sistem religi kuno orang Mandailing, yaitu Si Pelebegu. Hal ini ditunjukkan dengan adanya satu ungkapan tradisional (istilah), yaitu somba do mulo ni tortor, yang secara harafiah artinya asal-mula tortor adalah sembah. Tarian ini menunjukkan ucapan syukur atau penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” jelas Pandapotan.

Mengapa tari tradisional ini dinamai tortor? Jawabanya tidak diketahui secara pasti. Begitu pula kalau perkataan tortor ditinjau dari segi arti harafiahnya. Sementara perkataan tortor pun tidak banyak ditemukan dalam perbendaharaan kata bahasa Mandailing. Namun ada yang mengatakan bahwa istilah tortor yang digunakan sebagai nama dari salah satu tari tradisional itu diduga berasal dari kata tor tu tor, artinya dari satu bukit ke bukit-bukit yang lainnya yang kemudian berubah menjadi  tortor.

Dilansir akurat, Istilah tor tu tor tersebut mengacu pada kontur daerah di Mandailing kelihatan tampak seperti garis yang turun-naik, berbentuk sejumlah segi-tiga yang berjejer, yang pada dasarnya mirip seperti salah satu gerakan dalam tortor.

Sewaktu para penari sedang manortor, tubuh mereka tampak seperti naik-turun dengan cara menekuk kaki untuk mengikuti irama gondang, dan seirama pula dengan gerakan dari kedua belah tangan masing-masing seperti orang yang sedang marsomba atau menyembah.

Istilah totor juga mengacu pada mangantor yang berarti suatu keadaan di mana tangan atau kaki seseorang mengalami getaran tertentu karena terhantuk pada benda lain, sehingga ia merasakan kesakitan. Jadi tortor dapat diartikan sebagai gerakan tangan dari panortor yang bergetar atau digerak-gerakkan.

Hal ini tampak jelas ketika para panortor (yang berada pada barisan depan) sedang manortor, di mana kedua belah tangan dari masing-masing panortor selalu mereka gerak-gerakkan mengikuti irama musik pengiring (disebut gondang dua, gondang topap, gondang tunggu-tunggu dua, atau gondang boru). Tepatnya, gerakan tangan mereka tersebut selalu seirama (bersamaan) dengan bunyi ogung dadaboru (gong betina) pada ketukan pertama dan ogung jantan (gong jantan) pada ketukan ketiga, ketika mereka sedang manortor.

Dalam setiap kegiatan manortor terdapat dua kelompok yang masing-masing orang berpasangan. Kelompok pertama berjejer di barisan terdepan, sedangkan kelompok kedua berjejer pula tepat di belakang kelompok pertama. Kelompok kedua ini disebut “pangayapi” atau “panyembar”, dan kelompok pertama disebut “na iayapi” atau “na isembar”. Kelompok pertama yang berada di barisan terdepan ini merupakan orang-orang atau kelompok kekerabatan yang dihormati oleh orang-orang yang berada di barisan belakang (kelompok kedua).

Sesuai dengan ketentuan adat masyarakat Mandailing, ada beberapa jenis tortor yang didasarkan kepada status atau kedudukan sosial dari orang-orang yang manortor yaitu: Tortor Raja Panulusan Bulung; Tortor Raja-Raja; Tortor Suhut; Tortor Kahanggi Suhut; Tortor Mora; Tortor Anakboru; Tortor Namorapule; dan Tortor Naposo Nauli Bulung.

Manotor yang pertama di acara ini dinamai Tortor Suhut yang diikuti oleh Erwan Nasution, Darmin Nasution yang bergelar Sutan Kumala Sakti, Faisal Oloan Nasution yang bergelar Mangaraja Parlindungan, Pasununan Nasution bergelar Sutan Parimpunan, dan Parlindungan Nasution bergelar Mangaraja Gunung.

 “Di belakangnya Anak Boru mengayapi atau mendukung tortor yang dilakukan oleh Suhut Kahanggi, lalu dilanjutkan dengan Tortor raja-raja Nasution, tortor raja-raja Lubis, dan tortor raja-raja Mandailing lainnya, serta tortor dari Inanta Soripada,” tambah Darmin.

Menari tortor ini menandakan acara adat dimulai.

Inanta Saripada yang menari tortor adalah para istri dari keluarga Nasution, yang terdiri dari istri Erwin Nasution, istri Erwan Nasution, istri Darmin Nasution, istri Mulia P. Nasution, istri Syaifullah Nasution, istri Usman nasution, dan istri Tongku Abdul Manan.[*]

Terkini