Jual Nama Besar UPSI di Seminar 'Abal-Abal'

Senin, 06 November 2017 | 13:17:55 WIB

Metroterkini.com - Yayasan Kesenian Riau menyelenggarakan Seminar Internasional di Bandar Serai, Sabtu (4/11/2017). Selain terindikasi pembohongan publik, karena merekayasa gelar Guru Besar Keynot Speaker-nya, seminar ini juga banyak kejanggalan. Publik mempertanyakan: ada apa? ADA berita menarik di Second Head Line, Tribun Pekanbaru, edisi 4 November 2017. Berita berjudul: “Gilang Ramadhan Unjuk Kebolehan Bermain Drum”—ini, tidak semata-mata tentang reputasi musikus nasional itu.

Ternyata, terselip nama Prof. Mohd. Hassan dari Universitas Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, dalam Pergelaran Riau Student Music Festival 2017 itu. Sang Professor, dari Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) ini, bertindak sebagai Keynot Speakers, Seminar Internasional yang dikemas penyeleggara satu paket dengan acara itu.

Mendengar nama besar, UPSI—yang nota bene—universitas tertua di Semenjanjung Malaysia—tentu mengundang perhatian publik dan pers. Masalahnya, Prof. Hassan, baik dalam brosur promosi acara maupun dalam slide latal belakang (backdrop) tertera jelas, sebagai Guru Besar dari universitas yang didirikan tahun 1922 itu. 

“Ini yang membuat saya heran,” kata seorang peserta seminar.

“Masalahnya, beberapa bulan silam, saya membaca curiculum vitae-nya beliau, saat mengikuti Kuliah Umum di Program Studi Sendratasik FKIP-UIR. Saat itu, dia hanya sebagai Professor Madya. Bukan Guru Besar,” katanya. 

Kenyataannya, di seminar ini, Prof. Hassan disebuat sebagai Guru Besar. Berarti beliau sebagai Guru Besar “Penuh”, dong? Berarti ini ‘kan pembohongan publik?” tanyanya, tanpa habis fikir.

Yang juga membuatnya heran justru: Bagaimana mungkin UPSI yang memiliki reputasi dan kredibilitas boleh memberi izin kepada sseeorang yang nyatanya seorang Professor Madya kemudian mengaku sebagai Guru Besar? Bukankah ini telah mencoreng dunia akademik dan nama besar UPSI? “Saya kira inilah pembohongan publik yang diperankan oleh orang akademik,” tuturnya.

Lantas, di luar itu, media ini yang merasa terpanggil oleh gaung Seminar Internasional ini segera mengunjungi acara. Tak pelak, apa yang tertera di brosur promosi berbanding terbalik dengan kenyataan. Forum seminar yang digaung-gaungkan sebagai Forum Internasional ini, benar-benar membuat pandangan miris dan sangat memalukan.

Selain Keynot Speakers yang merekayasa gelar, ada invitee speakers yang diniali sangat tidak layak. Seperti,Marhalim Zaini, dan seorang penggiat seni dari Singapura, yakni: Hanafi bin Idrus. Nah, invitee spakers ini juga haruslah orang yang sudah memiliki reputasi, keahlian dan ketokohan serta dedikasi tinggi di bidangnya.

"Parahnya lagi, Seminar Internasional ini juga tidak ada proceeding, calling paper dan panel yang merupakan suatu keharusan dari sebuah Seminar Internasional. Kriteria Siminar Internasional harus menggunakan para Panelis yang berasal dari tokoh akademisi atau seniman yang memiliki kaliber internasional,” kata peserta dari umum.

“Jadi, jangankan Seminar Internasional, Lokal Seminar pun juga tidak tercapai melainkan bersifat ceramah untuk umum saja; yang tidak bernilai akademik dan tidak ada standar seminar internasional,” katanya.

Syah saja, forum Seminar Internasional ini, terkesan dipaksakan. Bayangkan, Anjungan Idrus Tintin di Bandar Serai itu, hanya diisi oleh total pengunjung lebih kurang 115 orang, termasuk kalangan Panitia Penyelenggara. Empat orang di antaranya berasal dari guru dikenakan uang seminar Rp110 ribu-per orang, sisanya mahasiswa Program Studi Sendratasik FKIP-UIR yang diwajibkan mengikuti seminar dengan beban bayaran Rp 50 ribu per-mahasiswa.”Sepertinya seminar aba-abal,” tutur seorang peserta seminar.

Dengan tarif sekecil itu, wajar jika peserta hanya diberikan poto-kopi- an tiga eksemplar makalah dari tiga invitee speakers, satu eksempelar noote book kecil serta sebuah pena yang dikemas dalam map plastik sederhana. Jika dikaji saksama, uang yang diperoleh dari peserta tentulah sangat minim untuk menalangi dana sebuah Seminar Internasional. 

“Lantas dari mana dana diraih panitya?” ini yang jadi pertanyaan. Yang lebih mengherankan justru penyelegara Seminar Internasional ini adalah Yayasan Kesenian Riau. Bukan kalangan perguruan tinggi. Hal ini terbukti dari sertifikat yang diterima peserta usai seminar. 

“Lucunya lagi, sertifikat mirip sertifikat kursus bengkel dengan melampirkan jadwal dan nama pembicara di bagian belakang sertifikat. Sertifikat juga ditanda tangani Pembina Yayasan Kesenian Riau. Bukan Ketua Panitia Penyelenggara yang menandatangani,” katanya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, semua prosesi acara ini tidak terlepas dari ambisi pihak Panita Penyelenggara yakni Idawati dan Arman. Kedua orang ini--alumni FKIP-UIR dan Arman tengah mengikuti Program Doktoral di UPSI--diyakini sebagai aktor yang berperan menghadirkan Prof. Madya Mohd. Hassan ke seminar tersebut.

Kemudian menggaung-gaungkannya sebagai Guru Besar agar seminar ini memiliki kredibilitas di mata publik.

“Arman sendiri adalah pelajar/mahasiswa bimbingan Prof. Mohd. Hassan,” kata sumber. Sedangkan Idawati masih berstatus Dosen Kontrak di Program Studi Sentratasik, FKIP-UIR. 

Yayasan Kesenian Riau sendiri, berdasarkan informasi, diduga sudah yang kedua kalinya menyelenggarakan even. Even pertama diselengarakan tahun 2007 dengan pergelaran Opera Melayu Tun Teja. “Saat itu, Ketua Yayasan Kesenian Riau masih dijabat alm. Hasan. 

“Setelah itu kegiatan Yayasan Kesenian Riau, lama vakum. Kemudian yah, yang tanggal 4 November 2017 ini. Jadi, sudah dua kali kegiatan,” katanya.

Beberapa pekerti yang ditarik sebagai simpulan dari acara ini adalah: Kesatu, tercorengnya reputasi UPSI karena mengirim Prof. Madya, Mohd Hassan sebagai delegasi kemudian merekayasa gelar sebagai Guru Besar. Kedua, penyelenggaraan seminar Internasional yang diduga terindikasi pelanggaran akademik karena tidak memenuhi standar yang berlaku.

Ketiga, Yayasan Kesenian Riau, sebagai penyelenggara Seminar Internasional ini, yang diduga mengambil alih peran perguruan tinggi atau universitas sebagai pihak yang berwenang menyelenggarakan forum-forum ilmiah-intlektual antarnegara, seperti Seminar Internasional.

Untuk itu, demi tegaknya marwah sebuah almamater serta meletakkan aktivitas akademik pada proforsinya, sebaiknya acara sejenis tidak lagi terselenggara secara amatiran oleh yayasan. Tetapi harus diberikan kepada institusi berwenang seperti universitas. Karena menyelenggarakan sebuah seminar berkelas Internasional bukanlah pekerjaan gampang dan sederhana.

Juga hal yang paling urgen, tidak lagi terjadi pembohongan publik dengan merekayasa gelar. Seperi rekayasa gelar Mohd. Hassan. Yang nyatanya seorang Prof. Madya. Justru disebut sebagai Guru Besar alias Professor “Penuh”. Sebab, perilaku ini menyangkut nama baik UPSI sebagai sebuah universitas dengan reputasinya yang kredibel. Juga, telah sekaligus mencoreng nama baik sebuah Dunia Akademia. [***]
 

Terkini