Metroterkini.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan untuk mendukung masa depan dugaan kekerasan di Myanmar, di negara bagian Rakhine, di mana militer penuh terus menganiaya kaum Muslim Rohingya.
Keputusan ini disahkan setelah dewan hak asasi manusia PBB resolusi yang diajukan oleh Uni Eropa. Resolusi itu menyerukan agar misi pencari fakta internasional diberikan enam bulan lagi, sampai September tahun depan.
"Kami mau pemerintah akan melihat keuntungan dari bekerja sama," kata Duta Besar Estonia untuk PBB, Andre Pung, saat berbicara mewakili Uni Eropa.
Dilansir CNN , misi pencari fakta ini sebenarnya sudah terbentuk sejak Maret lalu. Namun, misi ini meminta waktu tambahan karena Myanmar sangat sangat mengakses akses menuju Rakhine. Duta Besar Myanmar untuk PBB, Hau Khan Sum, pun ditolak resolusi ini. Ia meyakini, "adanya misi pencari fakta tidak akan membantu dan kontra-produktif dengan upaya kami untuk mencapai rekonsiliasi nasional." Selama ini, pemerintah Myanmar di bawah pemimpin defacto Aung San Suu Kyi memang selalu membantah semua tuduhan mengenai kekerasan yang terjadi di Rakhine.
Sementara itu, lembaga dan organisasi pemerhati HAM selalu melaporkan tindak kekerasan militer dan warga negara Myanmar terhadap kaum minoritas tersebut.
Rangkaian kekerasan terbaru terjadi 25 Agustus lalu, saat kelompok agama Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) menyerang nomor pos polisi dan satu pangkalan militer di Rakhine.
Militer pun melakukan operasi pembersihan untuk menumpas ARSA dari Rakhine. Namun ternyata, militer kembali juga membantai sipil Rohingya hingga menembak sekitar 1.000 orang.
Akibat aksi kekerasan ini, ratusan ribu Rohingya kabur ke Bangladesh, menyebabkan krisis pengungsi di negara yang sebelumnya sudah menampung sekitar 400 ribu orang dari Rakhine tersebut. [*]