Metroterkini.com - Dunia memiliki tujuh spesies penyu dan Indonesia adalah rumah bagi enam diantaranya. Keberadaan penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, penyu tempayan, penyu belimbing, dan penyu pipih sejak lampau telah menjadi bagian dari keragaman fauna nusantara. Karenanya, penyu sangat penting bagi keseimbangan ekosistem laut Indonesia.
"Penyu memiliki banyak manfaat bagi ekosistem laut. Selain menjadi predator puncak untuk beberapa jenis biota laut seperti kerang-kerangan dan invertebrata, jenis-jenis penyu tertentu juga mengontrol populasi ubur-ubur yang menjadi musuh larva ikan dan ikan-ikan kecil,” ungkap Imran Amin, Deputy Director Program Pesisir dan Laut The Nature Conservancy (TNC) Indonesia. Ia kemudian menambahkan bahwa penyu juga menjaga kesehatan ekosistem padang lamun dan terumbu karang.
Namun di Indonesia penyu saat ini menghadapi banyak ancaman untuk kelestariannya. TNC Indonesia yang saat ini tengah mengembangkan program konservasi penyu di Laut Sawu, menemukan sedikitnya lima ancaman utama terhadap penyu, yang pertama adalah predasi. “Dari beberapa survey di Rote dan Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, kami melihat binatang ternak seperti babi, peliharaan seperti anjing, dan liar seperti monyet merupakan ancaman bagi telur penyu, begitu juga predasi oleh manusia,” ucap Imran lagi.
Memang, beberapa komunitas masyarakat pesisir di NTT saat ini masih memanfaatkan kerapas (cangkang) untuk aksesoris dan daging serta telur untuk konsumsi. “Padahal pemerintah melalui undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya telah menetapkan ke-6 spesies penyu tersebut sebagai hewan yang dilindungi,” jelas Imran.
Ancaman kedua adalah aktivitas penambangan pasir yang tidak teregulasi. Pemanfaatan pasir secara berlebihan menyebabkan erosi pantai, sehingga hanya batu dan kerikil saja yang tersisa di pantai. “Kondisi ini tidak memungkinkan untuk penyu mendarat dan bertelur lagi,” kata Imran. Ancaman ke-3 yang tidak kalah peliknya adalah maraknya pembangunan di kawasan pesisir. Akibat pemakaian ruang laut untuk pembangunan dan budidaya rumput laut, penyu kehilangan tempat untuk bertelur.
Selanjutnya yang menjadi ancaman adalah keberadaan sampah, khususnya yang berbahan plastik. Imran menambahkan, “kematian akibat konsumsi dan terbelit sampah plastik telah menjadi isu dunia, termasuk di Indonesia.” Jumlah pasti kematian akibat sampah plastik belum diketahui secara pasti, namun semakin banyaknya bukti yang ditemukan menguatkan hipotesa bahwa sampah plastik merupakan salah satu ancaman utama bagi penyu.
Yang ke-5 adalah praktik konservasi yang tidak tepat. Pemindahan telur dari sarang ke tempat penangkaran sedikit banyak akan mengubah kondisi suhu yang dibutuhkan telur untuk menetas dengan baik. Sementara lama penangkaran, waktu pelepasan, jumlah tukik yang dilepaskan, lokasi dan rutinitas pelepasan juga berpengaruh kepada kemungkinan keselamatan penyu.
“Kami melihat praktik penangkaran sebagai upaya konservasi paling akhir yang dapat dilakukan. Prioritas kami dalam upaya konservasi penyu adalah menjaga habitat aslinya sealami mungkin,” tambah Imran.
Penyu memerlukan banyak tipe habitat selama hidupnya. Sementara tingkat kelangsungan hidup tukik yang sangat rendah (sekitar 0.01 %), penyu juga memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai kematangan reproduksi (15 – 40 tahun). Diperlukan waktu puluhan tahun bagi penyu untuk dapat meningkatkan ukuran populasi mereka. “Populasi penyu terus terancam. Sudah saatnya kita bertindak untuk menjaga kelestariannya dengan menjaga ekosistem laut dan pesisir nusantara,” tutup Imran. [rilis]