Setahun Jokowi-JK , Nilai Budaya Jokowi Nol

Selasa, 20 Oktober 2015 | 00:00:07 WIB

Metroterkini.com - Nawa cita atau sembilan cita-cita Joko Widodo yang tercetus saat dilantik setahun lalu sejatinya berpusat pada satu, menurut budayawan Radhar Panca Dahana. Kebudayaan.

"Tidak bisa kita ciptakan kemandirian ekonomi atau kedaulatan politik, kalau tidak punya kepribadian yang berbasis budaya kita sendiri," ujar Radhar Dilansir CNN, Selasa (20/10/15).

Setahun berlalu, Radhar tidak melihat ada perkembangan positif. Salah satu caranya, revolusi mental, tidak terlalu signifikan. Ia memang digembar-gemborkan, namun tidak muncul secara gamblang dalam kehidupan sehari-hari.

"Sampai sekarang kita masih bingung, revolusi mental itu bagaimana. Tidak bisa dijelaskan, diuraikan secara komperehensif, apalagi turun kepada praktis. Dia pun berakhir hanya sebagai slogan, selesai dengan kata-kata," ujarnya.

Padahal dengan membangun budaya, sama saja membangun bangsa. Pembangunan budaya akan menciptakan manusia berintegritas.

Ironisnya, justru tidak ada lembaga pemerintah yang mengurusi itu secara khusus. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun dianggap Radhar tidak mengerti budaya. Itu bukan sekadar acara seremonial yang perlu selebrasi formal.

Kehadiran Presiden di beberapa acara budaya besar, seperti pesta maritim, Sail Komodo, atau puncak perayaan 17 Agustus di Pontianak, hanya berurusan dengan produk budaya "jadi."

"Dia tidak berurusan langsung dengan produktivitas. Soeharto bahkan lebih punya perhatian," tutur Radhar membandingkan.

Presiden ke-dua Republik Indonesia itu masih bersedia datang ke pertunjukan teater dan mendukung penyair. "Koleksi lukisannya di Istana, hampir sama seperti punya Soekarno. Meskipun dia di satu sisi membunuh kesenian, di sisi lain seni yang dia suka dia dukung."

Dibangunnya Taman Mini Indonesia Indah pun menurut Radhar merupakan bukti kecintaan Soeharto pada seni. Apalagi itu kemudian menjadi wadah berkembangnya seni-seni daerah. "Jokowi datang ke konser musik? Kan hanya karena mereka mendukung dia," lanjut Radhar.

Berdasarkan pengamatannya, Radhar tak bisa menilai pencapaian nawa cita Jokowi setahun belakangan. "Pencapaian material di bidang politik dan ekonomi mungkin tercatat, tapi di kebudayaan nol," kata penulis Ekonomi Cukup.

Padahal, sekali lagi penggemar kopi tubruk itu menegaskan, kebudayaanlah basis dari sebuah negara. Ketika kebudayaan tak dibangun, bangsanya pun tak bisa menghadiri karya seni dan budaya. Tak heran jika itu lebih dihargai asing, dan disia-siakan oleh negeri sendiri.

Menurut Radhar, presiden-presiden di Indonesia, bukan hanya Jokowi, tidak terlalu fokus pada pembangunan budaya lantaran itu tidak memberi nilai nyata pada portofolio mereka. "Karena output terbesar dari kebudayaan itu sifatnya abstrak," tuturnya.

Lawatan Jokowi ke Pontianak disebut budayawan sekadar acara seremonial. Padahal di sisi lain, ada tuntutan dari pihak tertentu agar presiden segera menyuguhkan hasil untuk memuaskan publik, biasanya dalam bentuk target 100 hari atau semacamnya. Radhar menjelaskan, tuntutan itu datang dari elite.

"Itu kekeliruan cara berpikir. Itu sebenarnya bukan sifat dasar masyarakat. Sifat dasar kita itu sabar. Kalau perubahan butuh waktu lama, mereka bisa menunggu," tuturnya. Yang tidak bisa menunggu justru para elite, karena mereka butuh situasi pasti untuk meraup keuntungan.

Kekeliruan menilai sesuatu berdasar materi semata, disebut Radhar sebagai pragmatisme. Jika pragmatisme itu dilakukan dengan cara apa pun, termasuk kompromi dan mengorbankan keluhuran cita-cita bangsa, disebut oportunis.

"Jika oportunis itu sampai menyengsarakan atau tidak membela rakyat, namanya pengkhianat."

Meski begitu, Radhar menilai belum terlambat bagi Jokowi untuk memulai membangun kebudayaan bangsa. Ia masih punya empat tahun tersisa untuk mengelaborasi dan mengonsep sendiri bagaimana membangun kebudayaan dengan caranya.

"Tidak pernah terlambat selama manusia masih ada," ujar Radhar menutup pembicaraan. [cnn]

Terkini