Panitia Tak Profesional, Kontingen Reog Ancam Boikot FRN Mendatang

Senin, 19 Oktober 2015 | 00:00:07 WIB

Metroterkini.com - Pelaksanaan Grebeg Suro dan Festival Reyog Nasional (FRN) XXII tahun ini agaknya patut menjadi perhatian serius Pemkab Ponorogo, Jawa Timur. Hal ini lantaran sejumlah permasalahan muncul dibalik rutinitas pesta rakyat Ponorogo ini. Diawali dengan aksi boikot DPRD, Grebeg Suro juga diakhiri dengan tudingan tidak profesionalnya FRN yang berujung pada rencana boikot kontingen reyog asal Jabodetabek tahun depan.

Festival Reyog Nasional (FRN) ke XXII telah berakhir dan menghasilkan Juara Umum, yakni Kabupaten Lamandau. Hasil tersebut merupakan keputusan dari dewan juri yang melakukan pangamatan dalam FRN yang digelar selama tiga hari di panggung utama Aloon aloon Ponorogo. 

Namun hasil keputusan tersebut ternyata menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan dan pengamat. Kesan pertama yang muncul dari arena FRN yakni penyelenggaraan yang kurang Profesional. Konsep penyelenggaraan dinilai monoton dan tidak ada hal yang istimewa, terutama soal aturan main dan dan sistem penilaian festival. 

Selama ini, masyarakat menilai bahwa juklak juknis dalam festival reyog tingkat nasional tersebut sudah terusun rapi dan baku sebagai salah satu tolak ukur. Semisal, suatu daerah yang mengirim kontingennya dengan personil asli dari daerahnya sendiri, karena mereka mengerti tentang aturan main seperti yang tertera dalam petunjuk teknis yang tertulis. 

Namun ditengarai, aturan yang menyatakan bahwa peserta festival harus sesuai dengan ‘identitas’ masing- masing daerah nampaknya dilanggar. Sejumlah kontingen bahkan dicurigai didominasi pemain sewaan dari Ponorogo. Hal ini sebagaimana diungkapkan Agus Setyoko selaku  Sekjen Paguyuban Reyog Ponorogo Jabodetabek. 

“Selamat kepada kontingen Kabupaten Lamandau yang berhasil membawa pulang trophy bergilir Presiden. Dan semoga pula pemain- pemain yang ditampilkan asli dari Lamandau. Dengan begitu, otomatis Kabupaten Lamandau berhasil melakukan pembinaan kesenian reyog di daerahnya,” ujar Agus Setyoko, usai penutupan FRN ke XXII kemarin. 

Menurutnya, kecurigaan ini muncul karena tidak ada aturan yang detail dan pelaksanaan secara baik. Akibatnya, sempat muncul rumor diantara grup peserta mereka datang bawa uang dan membeli pemain di Ponorogo. Hal tersebut, menurutnya, sangat merugikan perkembangan kesenian Reyog di Indonesia. 

“Saya pribadi merasa kasihan dengan kontingen yang benar membawa pemainnya dari daerahnya sendiri, mereka mau ikut FRN berlatih dengan dana tidak sedikit. Kalau hal itu terus terjadi setiap tahun, dan para peserta sadar, tentunya minat dari peserta FRN akan berkurang,” tandasnya. 

Pihaknya berharap, kedepan ada pembenahan aturan dan sistem dalam pelaksanaan Festifal Reyog Nasional (FRN) secara tebih jelas dan tegas. Semua itu demi kebaikan dan meningkatkan semangat para peserta. 

Terlebih lagi dalam mengikuti FRN, para peserta mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. “Kalau tidak ada pembenahan sistem, dan aturan yang diterapkan itu- itu saja tanpa adanya tertib administrasi dari seluruh peserta, kami tidak akan mengikuti festival di Ponorogo. Mendingan kita buat kegiatan sendiri tanpa jau- jauh dari Jakarta,”  tegas Agus. 

Sementara itu, Yoga Pujakesuma, salah satu pelaku dan seniman asal Wonogiri mengungkapkan keprihatinanya atas hal ini. Sebagai bagian dari seniman dan pelaku seni, dia merasakan betul hal itu. Dalam posisi seperti ini, dia tak lebih merasa ‘ditanggap’ oleh suatu kelompok atau instansi, yang baginya merupakan bentuk pengabdian dan wujud kesenangan dalam beraksi sebagai seniman. 

“Saya berharap suatu saat ada reformasi sistem dalam FRN terkait 'orisinalitas' peserta, atau mendekatilah paling tidak,” harapnya. [Nurcholis]

Terkini