Wisata ke Kampung Budaya, Sisa-sisa Kerajaan Pajajaran

Senin, 21 September 2015 | 00:00:13 WIB

Metroterkini.com - Jumlah penduduk mencapai 12.000 jiwa yang terdiri atas 14 Rw dan 54 Rt. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah menjadi perajin sandal, sepatu, dan petani.
 
“Nama Sindangbarang tercatat dalam babad Pakuan atau Pajajaran sebagai salah satu daerah penting Kerajaan Sunda dan Pajajaran. Di Sindangbarang terdapat salah satu keraton kerajaan tempat tinggalnya salah satu istri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda," ujar Ketua Adat Kampung Sindangbarang, Maki Sumawijaya.
 
Penguasa Sindangbarang saat itu adalah Surabima Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Bahkan, putra Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang Sunda yang bernama Guru Gantangan lahir dan dibesarkan di Sindangbarang.
 
Di kawasan kampung ini, masih dijumpai peninggalan purbakala berupa Taman Sri Bagenda, yaitu taman yang berupa kolam dengan panjang 15 x 45 meter, dan 33 buah titik punden berundak.
 
Dalam Pantun Bogor dituliskan bahwa nama Sindangbarang dahulu adalah lembur taman. Pada zaman Prabu Wisnu Barata, perkembangan agama di Sunda pada saat itu dipusatkan di lembur taman. Sang Prabu saat itu membangun punden (bukit berundak) untuk sarana beribadah menurut agama di Sunda.
 
Saat ini, rumah-rumah adat dan tradisi budaya di Kampung Budaya Sindangbarang telah direkonstruksi dengan bimbingan dan petunjuk dari almarhum Anis Djatisunda, budayawan Jawa Barat, dibantu dana oleh mantan Gubernur Jawa Barat, Dani Setiawan.
 
Ornamen bangunan rumah di Kampung Budaya Sindangbarang ini tetap merujuk pada model rumah kuno pada masyarakat Sunda terdahulu. Bahan baku utamanya berupa kayu, bambu, serta atap dari ijuk pohon aren yang diambil langsung dari hutan Gunung Salak.
 
Rumah itu berbentuk panggung dan posisinya seragam antara yang satu dengan yang lainnya, yakni dibangun dari timur menghadap ke barat. Filosofi orang Sunda, hidup manusia mengikuti Matahari, yakni terbit dari timur dan tenggelam ke arah barat.
 
Tak hanya itu kampung ini juga diapit oleh dua sungai. Maki menjelaskan, sebuah kampung adat Sunda harus diapit oleh sungai, karena masyarakat Sunda tidak bisa jauh dari air.
 
“Mereka punya istilah cai kahuripan, yakni air adalah sumber kehidupan. Ia menambahkan, kalau sebuah kampung adat harus memiliki imah gede dan pangriungan atau balai desa,” tuturnya dilansir Viva.
 
Selain itu, harus ada leuit (lumbung padi). Imah gede harus dibangun di tempat yang lebih tinggi dan merupakan tempat yang paling sakral. Kalau tidak diundang kepala adat tidak boleh ke sini, makanya imah gede ada pagarnya sendiri. Kalau ada pertemuan cukup dilakukan di pangriungan.
 
Tak hanya berpanorama indah, kampung ini kerap diselimuti kabut dan hawa yang sejuk. Letaknya di lembah pegunungan, juga tidak jauh dari hutan.
Masyarakat menyebutnya leuweung keramat (hutan keramat). Ini lantaran di dalam hutan tersebut dipercaya terdapat makam karuhun mereka.
 
Salah satu ciri khas warga Kampung Budaya Sindangbarang adalah pemeluk agama Islam. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih mempercayai adanya roh-roh para arwah leluhur.
 
Hal ini dituangkan dalam kepercayaan mereka yang menganggap bahwa leluhurnya melindungi warga setiap saat. Leluhur itu pula yang dipercaya dapat menyelamatkan mereka dalam berbagai persoalan. Sekaligus dapat mencegah marabahaya yang setiap saat selalu mengancam.
 
Karena itu, sebagai wujud penghormatan kepada karuhunnya, masyarakat Kampung Budaya Sindangbarang setiap tahunnya selalu mengadakan upacara adat seren taun. Selain itu, mereka sangat patuh dan setia mematuhi segala pantangan yang dianggap pamali.
 
Upacara adat Seren Taun, yaitu upacara ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen dan hasil bumi yang diperoleh pada tahun ini serta berharap hasil panen tahun depan akan lebih baik lagi.[vva]

Terkini