mengatakan, seharusnya jangan dilakukan secara parsial.
Ketua Komisi I DPR RI ini mengatakan, SBY berargumen reshuffle (penataan ulang) bertujuan untuk meningkatkan kinerja kabinet. ‘’Tujuannya bagus, tapi kalau evaluasinya parsial, saya jadi ragu kalau ini akan meningkatkan kinerja,’’ katanya, kepada Republika, Selasa (27/9).
Parsial dalam konteks ini yaitu menyangkut pusat dan daerah. Menurutnya, bisa saja mesin di pusat sudah bagus tapi mesin di daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) loyo. Pasalnya, program pemerintah pusat sampai ke bawah lewat mesin pemerintah daerah.
Kedua, lanjutnya, berbicara mengenai pemerintahan pusat juga terkait dengan koordinasi antar-kementrian lembaga. Bisa saja satu kementrian lembaga bagus tapi karena bidang kerjanya saling terkait satu dan yang lain dan kordinasi tidak bagus jadi bermasalah.
‘’Contoh, kementrian pertanian mengurus sawah. Tapi soal infrastruktur saluran irigasi itu urusan PU. Pertanian mengurus padi. Tapi kebijakan impor padi dan perdagangan beras itu Kementrian Perdagangan. Sejauh mana koordinasi antar kementrian lembaga bekerja?’’ tuturnya.
Ketiga, mengenai pola komunikasi dan koordinasi presiden dengan pembantu-pembantunya, yaitu wakil presiden, menko, dan menteri. ‘’Itu juga harus dievaluasi. Ini yang saya maksud evaluasi komprehensif. Mau tidak mau harus total kalau memang mau meningkatkan kinerja kabinet,’’ jelasnya.
Karenanya, jelas Mahfudz, kalau hanya sebatas melakukan reshuffle menteri yang sektoral dan parsial. Seolah-olah, penentu kinerja hanya kementrian lembaga. ‘’Kalau itu yang terjadi sementara masih ada masalah lain di daerah, koordinasi baik horizontal atau vertikal, mau menterinya superman atau superwoman semua, itu tidak akan secara dramatis mendongkrak,’’ cetusnya.
‘’Apakah artinya reshuffle itu politis? Terserah dari pilihan presiden sendiri. Apakah mau dilakukan berdasarkan kepentingan politis atau memang
objektivitas,’’ pungkas Mahfudz.**