Metroterkini.com - Jahe merah memiliki berbagai kandungan yang terindikasi bermanfaat sebagai antibakteri dan antiinflamasi seperti gingerol, shogaol, hingga minyak atsiri untuk mencegah infeksi virus dan bakteri. Bahkan jahe merah juga disebut memiliki efek immunodomodulator yang bisa meningkatkan respon sistem imun.
Kepala Kelompok Penelitian Center for Drug Discovery and Development, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Masteria Yunovilsa Putra mengatakan belum ada bukti yang melaporkan penggunaan jahe merah sebagai anti virus, khususnya COVID-19.
Ia menambahkan jahe merah berfungsi untuk membantu meringankan gejala yang ditimbulkan, bukan untuk menyembuhkan atau membunuh virus tersebut. Meski begitu, Masteria mengatakan jahe merah memiliki aktivitas sebagai immunomodulator.
"Kami mencoba untuk meluruskan informasi terkait penggunaan jahe merah dalam penanganan coronavirus. Jahe merah memiliki aktivitas sebagai immunomodulator yaitu dapat meningkatkan daya tahan tubuh manusia. Efek inilah yang bermanfaat dalam pencegahan dan membantu dalam pemulihan dari coronavirus," ujarnya dikutip dari situs biotek.lipi.go.id.
Masteria mengatakan mengonsumsi jahe merah bisa menjadi langkah pencegahan penyakit melalui peningkatan daya tahan tubuh. Menurutnya, masyarakat Indonesia umumnya menggunakan jahe merah sebagai bumbu makanan atau dikonsumsi sebagai jamu.
"Secara umum, coronavirus menyebabkan gejala peradangan berlebih pada paru-paru. Dengan aktivitas antiinflamasi yang dimiliki oleh jahe merah, dapat membantu meredakan gejala tersebut," sambungnya.
Selain itu jahe merah juga memiliki manfaat lain, seperti menurunkan tekanan darah, antibakteri, menurunkan asam urat, menurunkan kadar kolesterol, dan afrodisiak. Jahe merah juga bermanfaat untuk mencegah penyakit kronis degeneratif seperti kardiovaskular dan diabetes pada lansia.
Seperti diketahui, klaim khasiat suatu obat harus dibuktikan melalui data empiris atau secara ilmiah melalui uji praklinis dan uji klinis sebelum diedarkan kepada masyarakat.
Uji praklinis adalah tahap penelitian zat serta kandungan apa saja yang terkandung pada obat serta dilakukan juga ujicoba kepada hewan yang memiliki gen serupa dengan manusia, seperti monyet, tikus dll. Tujuannya adalah untuk melihat khasiat obat tersebut terbukti di hewan dan aman untuk manusia.
Setelah uji praklinis, dilakukan uji klinis pada manusia yang meliputi 3 fase. Fase pertama akan melibatkan 50-100 orang untuk melihat keamanannya. Bila lulus, masuk ke fase dua dengan melibatkan 100-400 orang untuk melihat keefektifannya, seperti dapat menghasilkan kekebalan, efektivitas penyembuhan, hingga efek sampingnya.
Terakhir pada fase ketiga obat akan kembali diuji kepada ribuan orang untuk melihat kembali khasiat, efektivitas, dan reaksi atau efek samping yang muncul.
Seluruh rangkaian uji praklinis dan klinis tidak hanya berlaku untuk obat kimia dan vaksin, melainkan juga untuk obat dan ramuan herbal. Seperti pamor tanaman herbal obat asli Indonesia jahe merah yang naik dan banyak diburu masyarakat karena disebut-sebut bisa menyembuhkan virus Corona. [***]