Dugaan Pemerasan, Kepsek di Inhu Dipanggil Kejati

Senin, 20 Juli 2020 | 23:36:22 WIB

Metroterkini.com - Kepala sekolah (Kepsek) SMP di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dipanggil jaksa pengawasan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Mereka diklarifikasi terkait dugaan pemerasan yang dilakukan oknum di Kejari Inhu.

"Panggilan ada enam orang kepala sekolah yang datang bersama saya. Tapi di luar sepertinya banyak," ujar Kepala Inspektorat Kabupaten Inhu, Boyke Sitinjak, saat ditemui di Kantor Kejati Riau, Senin (20/7/2020).

Boyke mengatakan ada dugaan pemerasan yang dilaporkan para guru ke Inspektorat. Mereka mengaku diperas oleh oknum jaksa di Kejari Inhu terkait pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Pemerasan itu menjadi tekanan mental bagi para kepala sekolah. Ada 63 guru yang mengajukan pengunduran diri. Mereka adalah guru SMP. "Seluruh guru SMP (mengundurkan diri). Totalnya ada 63 orang," kata Boyke.

Terkait hal itu, Boyke sudah melaporkan ke kejaksaan. Dia menyerahkan sepenuhnya penyelidikannya kepada kejaksaan. "Biar kejaksaan yang membuktikannya," kata Boyke.

Sementara, Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Persatuan Guru RI (PGRI) Taufik Tanjung, mengatakan, selain enam guru yang dipanggil secara resmi, juga ada 5 guru lain. "Resminya ada 6 Kepsek yang sudah dimintai keterangan. Nanti ada lima lagi," kata Taufik.

Taufik menjelaskan, dugaan pemerasan itu sudah terjadi sejak 2016 lalu. "Klimaks kasus ini baru pada 2020," kata Taufik.

Dia menjelaskan jumlah uang yang diminta bervariasi, ada Rp25 juta, Rp45 juta dan Rp60 juta. Untuk penyerahan uang, ditunjuk satu orang kepala sekolah yang dipercaya oleh oknum jaksa tersebut.

"Jadi mereka (Kepsek) itu dipanggil oleh oknum jaksa itu, tidak diperiksa cuman disuruh datang. Kembali lagi, nanti ada satu yang dipilih untuk menyerahkan uang itu," tutur Taufik.

Pemanggilan tidak dilakukan secara resmi tapi hanya melalui telepon. "Yang resmi baru panggilan Kejati ini," tambah Taufik.

Selain oknum jaksa, pemerasan juga dilakukan oleh oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Modusnya, mereka menyurati pihak sekolah seolah-olah mereka sudah melakukan investigasi dan menemukan ada temuan penyimpangan dana BOS.

"Sebenarnya pihak sekolah sudah membalas surat. Mereka juga mengancam kalau 14 hari tidak membalas, mereka akan melaporkan temuan itu ke Kejaksaan," ucap Taufik.

Beberapa bulan kemudian, ada surat lagi dari Kejaksaan, melalui Inspektorat kepada guru-guru itu. "Di situ terjadi tekanan, berupa ancam-ancaman kepada para guru terkait dana BOS," ucap Taufik.

Penyerahan uang terakhir pada tahun 2020. Dari enam orang Kepsek yang diperiksa di Kejati, mereka mengatakan menyerahkan uang Rp35 juta lebih. "Ada Rp 210 juta," tutur Taufik. [***]
 

Terkini