Metroterkini.com - Beberapa peneliti mengabarkan trenggiling memiliki potensi besar menjadi inang perantara virus corona alias Covid-19. Namun, saat ini di Indonesia, trenggiling menjadi hewan mamalia yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal.
Analis Wildlife Conservation Society Yunita Setyorini mengatakan hasil penelitian menyebut bahwa 26 ribu trenggiling di Indonesia diperjualbelikan secara ilegal dalam kurun sepuluh tahun.
Yunita membeberkan mayoritas trenggiling di jual ilegal ke China. Tingginya minat, kata dia karena warga China mempercayai sisik trenggiling bisa menyembuhkan penyakit seperti asma dan menambah vitalitas meski belum terbukti secara ilmiah.
"Untuk perdagangan trenggiling selama kurun waktu sepuluh tahun menurut analisa yang kami lakukan hampir ada 26 ribu trenggiling dari Indonesia yang diperjualbelikan," ujar Yunita di Jakarta.
Trenggiling diduga menjadi salah satu inang perantara penularan virus corona Covid-19 selain lewat kelelawar. Peneliti LIPI menduga penularan dari kelelawar ke trenggiling bisa terjadi ketika hewan-hewan itu saling kontak saat berada di pasar hewan di Wuhan.
Pasar hewan di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, diduga menjadi sumber penyebaran virus pertama kali, hingga akhirnya mewabah ke berbagai belahan dunia.
Yunita berkata perdagangan trenggiling ilegal biasanya dilakukan lewat jalur laut. Pemburu trenggiling memanfaatkan pelabuhan kecil untuk mengirim trenggiling ke berbagai negara, khususnya ke China.
Terkait dengan hal itu, Yunita dan koleganya mengklaim telah membuat prototipe aplikasi yang mampu mengumpulkan data perdagangan ilegal trenggiling. Prototipe itu bahkan meraih juara kedua dalam kontes Global Zoohackton 2019 yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.
WWF membeberkan bahwa trenggiling sunda (Manis Javanica) menjadi target incaran perburuan dan perdagangan ilegal. Trenggiling dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kerajinan tas, dompet dan aksesoris lainnya sebelum sisiknya populer menjadi obat.
"Sedangkan dagingnya dimanfaatkan sebagai hidangan mewah dan sumber protein bagi masyarakat lokal," tulis Law Enforcement and Wildlife Trade Officer WWF-Indonesia, Novi Hardianto, seperti dikutip dari CNNIndonesia.
Selain obat, dalam artikel itu disebutkan bahwa trenggiling merupakan bahan baku narkoba. Dalam penelitian, sisiknya trenggiling memiliki kandungan zat adiktif Tramadol HCI yang merupakan zat adiktif analgesik untuk mengatasi nyeri, serta merupakan partikel pengikat zat pada psikotropika jenis sabu-sabu.
Berdasarkan data, Novi menyampikan Kebutuhan daging dan sisik trenggiling di China diperkirakan sekitar 100.000-135.000 kilogram per tahun.
Dalam menjalankan aksinya, bagian tubuh maupun Trenggiling utuh diselundupkan dengan berbagai macam cara. Kelompok penyelundup menggunakan lebih dari 150 rute yang berbeda-beda dan menambah hampir 30 rute baru setiap tahun.
WWF-Indonesia menyampaikan trenggiling sunda akan punah di alam liar jika perburuan ilegal dan perdagangan terus berlangsung sebagaimana analisa IUCN Pangolin Specialist Group. Oleh karena itu, WWF-Indonesia mendesak pemerintah mempersempit perdagangan trenggiling dan memperlambat laju kepunahan di Indonesia.
Beberapa cara yang bisa di lakukan, yakni pemberian hukuman yang berat bagi pelaku kepemilikan dan perdagangan trenggiling hingga merampungkan revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.[**]