Bekas Budak Seks ISIS Raih Nobel Perdamaian

Jumat, 05 Oktober 2018 | 23:51:09 WIB

Metroterkini.com - Saat Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menyapu wilayah Irak, salah satu kelompok etnis yang paling menderita adalah Yazidi. Dan, soal penderitaan etnis Yazidi di bawah kekuasaan ISIS, salah seorang yang amat memahaminya adalah Nadia Murad, perempuan yang pada Jumat (5/10/2018) meraih Nobel Perdamaian 2018. 

Perempuan berusia 25 tahun ini dulu tinggal di sebuah desa yang tenang di pegunungan Sinjar, di wilayah utara Irak, tak jauh dari perbatasan dengan Suriah. 

Namun, ketenangan itu hancur ketika kelompok ekstremis bersenjata ISIS menyapu sebagian wilayah Irak dan Suriah pada 2014. Tak hanya itu, serbuan ISIS tersebut sekaligus menjadi mimpi buruk yang mengubah hidup Nadia selamanya. Satu hari pada Agustus 2014, sejumlah truk pikap dengan bendera hitam berkibar di atapnya memasuki desa Kocho, tempat Nadia tinggal. 

ISIS membunuh semua pria di desa itu, menculik anak-anak untuk dilatih menjadi tentara, dan menjadikan para perempuan Yazidi sebagai budak seks. "ISIS ingin merampas kehormatan kami, tetapi justr merekalah yang kehilangan kehormatan," ujar Nadia yang kini adalah duta besar PBB untuk para penyintas perdagangan manusia. 

Setelah ditangkap dari desanya, Nadia dan para perempuan Yazidi lainnya menjalani penderitaan paling hebat sepanjang hidup mereka. Nadia dan para perempuan lainnya dibawa ke Mosul, yang didaulat sebagai ibu kota kekalifahan yang diproklamasikan ISIS. 

Selama kurang lebih tiga bulan menjadi tawanan ISIS, Nadia berulang kali dipukuli, disiksa, dan diperkosa. Tak hanya itu, ISIS kemudian menggelar pasar budak untuk menjual para perempuan dan gadis Yazidi itu kepada siapa saja yang berminat membeli. 

ISIS juga memaksa para perempuan Yazidi itu meninggalkan kepercayaan yang mereka anut. Komunitas Yazidi yang berbahasa Kurdi itu menjalani sebuah agama kuno yang memercayai satu Tuhan dan pemimpin para malaikat yang direpresentasikan dalam bentuk burung merak. 

Seperti ribuan perempuan Yazidi lainnya, Nadia dipaksa menikahi seorang anggota ISIS, disiksa, dipaksa mengenakan make-up, dan pakaian ketat. Tak tahan dengan berbagai jenis siksaan itu, Nadia nekat melarikan diri dan berhasil selamat karena mendapat bantuan sebuah keluarga Muslim asal Mosul. 

Dengan berbekal surat-surat palsu, Nadia berhasil melintasi perbatasan dan masuk ke wilayah Kurdi untuk bergabung dengan ribuan pengungsi Yazidi di sana. Di tempat pengungsian itulah baru Nadia mengetahui enam saudara laki-laki dan ibunya tewas dibunuh ISIS. 

Berkat bantuan sebuah organisasi yang membantu warga Yazidi, Nadia bisa bertemu saudarinya di Jerman, tempat dia saat ini tinggal. Sejak saat itu, Nadia mendedikasikan dirinya untuk apa yang disebutnya "perjuangan rakyat kami", dan menjadi aktivis anti-kekerasan terhadap perempuan ternama jauh sebelum gerakan #MeToo melanda dunia.

Sebelum serbuan ISIS pada 2014, jumlah warga etnis Yazidi di Irak berjumlah sekitar 550.000 orang. Namun, sebanyak 100.000 orang sudah meninggalkan Irak sejak serbuan ISIS. Sebagian lainnya memilih tetap berada di wilayah Kurdi dan masih takut untuk kembali ke kampung halaman mereka.

Kini, Nadia Murad menjadi suara Yazidi di kancah dunia. Dia mengkampanyekan keadilan bagi rakyatnya. Dia juga memperjuangkan agar dunia mengakui perbuatan ISIS terhadap etnis Yazidi bisa dikatagorikan sebagai genosida. [kmc-red]

Terkini