Jokowi Diminta Cabut Izin Kebun di Lahan Gambut

Senin, 09 Oktober 2017 | 20:51:08 WIB

Metroterkini.com - Di Riau, mayoritas areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) berada di kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang merupakan fungsi lindung, khususnya izin HTI yang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil bergambut dengan kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter.

Keberadaan izin-izin oprasional HTI di gambut dengan fungsi lindung tersebut selain bertentangan dengan regulasi pemerintah juga menjadi malapetaka yang menyuramkan kehidupan masyarakat gambut saat ini dan dimasa mendatang.

Demikian disampaikan Isnadi Esman, Sekretrais Jendral (Sekjen) Organisasi Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), dalam rilisnya, Senin (09/10/2017) menyebutkan, izin-izin di wilayah bergambut berada terbentang di wilayah provinsi Riau. 

Sejak terbitnya izin-izin tersebut di wilayah tersebut perekonomian masyarakat turun drastis, sudah sangat sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti madu, rotan, hewan buruan, damar, ikan serta tanaman obat yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan masyarakat selain bertani dan berkebun. Dan dampak yang paling menyengsarakan adalah konflik tanah dan sosial yang terjadi di masyarakat, putusnya kearifan lokal dan budaya masyarakat gambut.

Menurutnya, suku Melayu dominan mengelola wilayah pesisir dan suku Jawa dominan di darat, menukar hasil nelayan dengan hasil pertanian di lahan gambut menjadi hal yang biasa yang menjembatani interaksi sosial, itu juga merupakan sistem ekonomi yang selaras dengan budaya dan kerjasama yang terbangun bagi masyarakat Pulau Padang, silang sengketa yang pernah terjadi hanya berupa hal-hal normative dan dapat dengan mudah diselesaikan oleh tokoh agama dan tokoh kesukuan.

Masih menurut Isnadi, dulu masyarakat selain mengambil hasil hutan sebagai sumber kehidupan yang disediakan alam, masyarakat juga memiliki tata kelola ekonomi yang tersistem dan lestari, misalnya saja: Masyarakat menanam karet di sekitar permukiman. Dari hasil karet yang di sadap atau di “toreh” menjadi sumber penghasilan setiap hari yang digunakan untuk kebutuhan kosumsi sehari-hari. 

Selain itu masyarakat juga menanam kelapa yang berdampingan dengan tanaman karet, hasil dari perkebunan kelapa yang di panen setiap 2 (dua) minggu atau satu bulan memenuhi kebutuhan sekolah anak, sumbangan desa, sumbangan sarana ibadah dan kebutuhan yang sifatnya tidak rutin seperti sumbangan acara-acara pernikahan atau kegiatan desa. 

Sedangkan tanaman sagu yang dominan tumbuh maupun dibudidayakan di sepanjang sungai, wilayah pesisir dan tanaman sela di hutan menjadi penghasilan tahunan yang menjadi tabungan untuk bisa digunkan sebagai kebutuhan seperti melaksanakan ibadah haji, kebutuhan hari besar keagamaan, kebutuhan pesta pernikahan anak dan untuk membangun tempat tinggal.

“Dari situ kita dapat analisa bahwa sistem tata kelola gambut yang arif dan lestari mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, membangun budaya dan kebersamaan serta membangun infrastruktur di desa,” tuturnya. [ril]

Terkini