Metroterkini.com - Ada berbagai sebab dan faktor yang mendorong manusia berbuat dosa dan melampui batas. Sebab yang paling sering dan berpengaruh ada empat: al-Jahl (Kebodohan), al-Ghaflah (kelalaian), al-Hawa (hawa nafsu), dan as–syahwah (syahwat).” (Tutur Syaikh Abdullah Azzam, tarbiyah jihadiyah, hal. 233)
Dari empat perkara tersebut, syahwat dan hawa nafsu-lah yang dominan menyesatkan manusia. Hawa nafsu identik dengan penyimpangan yang abstrak dan tidak terindera seperti cinta dan benci.
Sedangkan syahwat identik dengan perkara-perkara material, seperti cinta wanita, dan kekuasaan. Namun, para ulama seringkali menyebut keduanya dalam satu ungkapan, yaitu nafsu-syahwat. Sebab keduanya saling terkait erat.
Dalam al-Qur’an, kalimat ahwa’ dan syahwat seringkali disebutkan beriringan dengan kesesatan, kekafiran, pengingkaran dan pembangkangan terhadap petunjuk Allah SWT. Misalnya, tentang sebab kekafiran Musyrikin Quraisy:
“Dan mereka mendsutakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (Qs. Al-Qomar: 3)
Syahwat dan hawa nafsu juga sebab utama kemunafikan. Allah berfirman yang artinya, “Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): “Apakah yang dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (Qs. Muhammad: 16)
Orang Yahudi dan Nasrani pun tersesat dan menyimpang dari jalan yang diridhai oleh Allah SWT pun karena mengikuti syahwat dan hawa nafsu;
Artinya, “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Qashas: 50)
Para sahabat Rasulullah SAW menjadi generasi terbaik karena mereka berhasil membuang jauh-jauh syahwat dan hawa nafsunya. Keduanya mampu dijinakkan sehingga selalu tunduk pada ketentuan Allah dan rasul-Nya.
Syahwat itu bermula dari hal-hal yang mubah, kemudian masuk kepada hal-hal yang makruh dan berakhir pada syirik dan kekafiran. Bani Isra’il menjadi kafir dari pembangkangan yang ringan, dan hal-hal yang remeh. Lalu berakhir pada perbuatan syirik, kufur, bahkan membunuh para nabi. Allah SWT berfirman:
“Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.” (Qs. Ali Imron: 112)
Seperti halnya mencuri telur yang belum memenuhi syarat dikenakan hukum potong tangan. Namun, mencuri kecil-kecilan akan mengantarkan pelakunya ke tindak kriminal yang lebih tinggi, seperti mencuri harta rakyat lalu mengkhianati mereka. Semuanya didorong oleh syahwat.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat pencuri. Ia mencuri sebutir telur, sehingga tangannya dipotong.” (HR. Bukhari)
Menurut Ibnu Taimiyah menulis, “Induk dari keburukan ada dua; ghaflah (lalai) dan syahwat –yang diikuti-. Sebab, kelalaian dari mengingat Allah dan akherat menutup segala kebaikan, yaitu dzikir dan kesadaran (yaqdzoh). Sedangkan syahwat membuka pintu keburukan, kelalaian, dan ketakutan –terhadap dunia-, sehingga hatinya selalu mengikuti keinginan syahwat dan menjauhi yang ditakuti oleh syahwat, otomatis ia menjadi orang yang lalai mengingat Allah dan berdzikir kepada Allah, ia mengingat dan disibukkan dengan sesuatu selain Allah SWT, semua urusannya menjadi sia-sia, dan hatinya pun dipenuhi cinta dunia.” (Majmu’ Fatawa, 10/579)
Syahwat Kekuasaan
Syahwat yang paling besar menimbulkan kerusakan pada diri manusia ada tiga: syahwat terhadap kekuasaan, syahwat terhadap wanita, dan syahwat terhadap harta.
“Berdasarkan pengalaman saya, bahaya paling besar yang mengancam manusia datang dari syahwat. Syahwat ingin berkuasa, sombong di muka bumi, takabbur dan senang menjadi orang terkenal.” Tutur syaikh Abdullah Azzam dalam tarbiyah jihadiyah-nya
Rasulullah SAW bersabda
“Kerusakan agama (dien) yang ditimbulkan oleh kerakusan syahwat terhadap harta dan kehormatan (jabatan), lebih besar daripada kerusakan yang oleh dua serigala yang dilepas ditengah kawanan domba.” (HR. Tirmidzi, 2376 –shahih- )
Menahan diri dari nafsu dan syahwat adalah sesuatu yang sangat berat, lebih berat daripada memindahkan gunung. Apalagi jika keduanya telah menjadi karakter dalam jiwa seseorang. Demikian penjelasan imam Ibn alQoyiim dalam al-Fawa’id-nya.
Beratnya menahan nafsu-syahwat berimbang dengan balasan yang Allah SWT sediakan bagi mereka yang berhasil mengendalikan nafsunya. Salah satunya balasan surge, (Qs. An-Naziats: 40-41).
Keabadian dan kemakmuran hidup di negeri akherat pun hanya bisa diraih dengan menundukkan nafsu syahwat. Terutama nafsu dan syahwat untuk sombong dan angkuh, (Qs. Al-Qososh: 83 ).
Syahwat Terhadap Harta Penguasa
Syaikh DR Abdullah Azzam menjelaskan, “kerusakan di muka bumi ini, apapun bentuknya, berawal dari keinginan seseorang untuk berkuasa dan memerintah, senang menyombongkan diri dan senang menonjol. Semuanya berawal dari perkara-perkara kecil dan remeh.”
Para salaf sangat memahami hal ini sehingga sangat berhati-hati. Salah satu bentuknya, mereka menjauhi pintu-pintu penguasa, tidak mendekat, apalagi menjilat mereka.
Syaikh DR. Abdullah Azzam menasehati, “Jika engkau bermaksud memasuki pintu istana Negara dan mendatangi mereka, ada dua perkara yang harus engkau hindari dan jauhi; harta kekayaan mereka dan pemberian mereka. Sebab perkataan dan nasehatmu akan jatuh sekejap, begitu dirham (harta) dari tangan penguasa jatuh ke tanganmu.” (Tarbiyah Jihadiyah, 2/237)
Pernah suatu ketika Khalifah al-Manshur mengunjungi imam Sufyan ats-Tsauri, lalu berkata kepada beliau, “Wahai Sufyan, apa yang kamu butuhkan.”
“Apakah engkau akan memberikannya kepadaku?” Tanya Sufyan. Khalifah menjawab, “Ya,”. Maka sang imam berkata, “Janganlah kau datang padaku sampai aku mengirim utusan kepadamu. Dan janganlah engkau mengirim utusan kepadaku sampau aku sendiri yang memintanya.”
Maka al-Manshur membalikkan badan seraya berkata, “Semua burung dapat kami jinakkan dan saya tangkap kecuali Sufyan.”
Pengusa melihat para ulama yang tunduk kepada mereka seperti ayam-ayam kampung yang mereka pelihara, mengendalikan mereka sesuka hatinya. Para penguasa berusaha memuaskan hati para ulama dengan cara memberi hadiah, cindera mata dan sejenisnya, sehingga para ulama mendiamkan kebatilan mereka dan membiarkan kedzaliman yang mereka perbuat.
Di titik inilah fitnah ulama-ulama penguasa terhadap Islam, menjadi sangat ganas, lebih sadis daripada senjata-senjata musuh. Mereka menghalalkan darah setiap penentang penguasa dzalim dengan alasan bughots, dan khawarij.
Dahsyatnya fitnah syahwat dan hawa nafsu ini seharusnya menjadikan muslim senantiasa mewaspadai tipu dayanya. Dan selalu meminta kepada Allah SWT agar senantiasa membersihkan jiwa (nafs) kita dari berbagai macam penyimpangan.
“Ya, Allah anugerahkan ketakwaan pada jiwaku, sucikanlah jiwaku sesungguhnya, Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang mensucikannya, Engkau adalah pelindung dan pemilik jiwaku.” (HR. Muslim)* Aamiin Ya Robb. [**an-najah]