Strategi Kontra-Terorisme Mesir Dipertanyakan

Ahad, 08 November 2015 | 00:00:07 WIB

Metroterkini.com - Poster Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi yang mengenakan pakaian militer terpampang di satu pos pemeriksaan keamanan sebelum menuju Sinai, tetapi jatuhnya pesawat Rusia di semenanjung itu menghancurkan citra terkendali yang berupaya dicapai oleh pihak berwenang negara itu. 

Para pejabat negara-negara Barat mengemukakan kemungkinan militan yang mencoba menggulingkan pemerintah Sisi bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat Rusia itu dengan mempergunakan bom. 

Apapun kasusnya, kematian 224 wisatawan yang sebagian besar adalah warga Rusia menimbulkan pertanyaan sulit terkait kebijakan pendekatan Sisi terhadap kaum militan. 

Sisi menjustifikasi tujuan menghancurkan kelompok militan dengan menggambarkan kelompok Islam radikal sebagai ancaman bagi Arab dan negara adidaya yang setiap tahun menggelontorkan dana miliaran dolar ke Mesir. 

Dengan tidak mengindahkan pembelajaran dari masa lalu, Sisi yakin dengan menghancurkan, memenjarakan dan menghukum mati kaum Islamis akan bisa menstabilkan Mesir. 

Pemerintah AS dan Inggris mengatakan bahwa pesawat itu kemungkinan besar jatuh karena bom. Setelah itu, Rusia yang sebelumnya mengatakan kesimpulan itu terlalu dini, memutuskan untuk menghentikan sementara penerbangan ke Mesir. 

Awal September, militer Mesir melancarkan aksi yang disebutnya operasi menyeluruh bernama Hak Shuhada. Lebih dari 500 orang yang menurut militer disebut militan tewas dalam dua minggu pertama operasi tersebut. 

Warga Sinai mengatakan tingkat kematian yang tinggi itu juga meliputi warga sipil dan mendorong sejumlah pemuda untuk mengangkat senjata melawan pemerintah dan pihak yang tidak mengecam operasi itu. 

“Sisi mengobarkan perang melawan kami. Dia mengatakan memerangi terorisme, tetapi perempuan tua dan anak-anak bukan teroris,” ujar seorang perempuan tua yang duduk di gubuk kayu di Arish, ibukota provinsi Sinai Utara, kepada Reuters. 

Dia terpaksa tinggal dalam kondisi buruk setelah melarikan diri dari desanya, tempat mertua perempuannya tewas dibunuh. 

“Dia berada di dalam rumah ketika peluru menembus tembok dan membunuhnya. Tentara tidak membawa dia ke rumah sakit. Mereka masuk ke rumah dan melihat dia tewas, menutup jenazahnya dan pergi,” ujarnya dilansir CNN. 

Seorang pejabat keamanan yang tidak mau disebutkan namanya membantah tudingan bahwa taktik keras militer itu menewaskan warga sipil. 

Jangka Pendek

Bahkan ketika tempat wisata Laut Merah di Sinai selatan tetap dipenuhi oleh wisatawan asal Eropa, bagian utara semenanjung itu berada di bawah pengawasan militer. 

Wilayah yang paling berbahaya - Arish dan kota Sheikh Zuwei dan Rafah yang berbatasan dengan Jalur Gaza, dinyatakan dalam keadaan darurat dan jam malam pun telah diterapkan selama lebih dari satu tahun. 

Militer mengeluarkan daftar “teroris” yang tewas dan foto jenazah hampir setiap hari. Langkah ini bertujuan bahwa Mesir memenangkan perang melawan militansi. 

Para diplomat mengatakan taktik garis keras Sisi ini hanya menghasilkan jalan keluar jalan jangka pendek. Stabilitas jangka panjang hanya bisa dicapai dengan investasi dan lapangan kerja di Sinai, yang warganya sejak lama mengeluh bahwa pemerintah pusat tidak memperhatikan wilayah itu. 

“Tujuan mereka adalah mengatasi masalah itu sekarang. Mereka ingin hasil yang cepat. Dan memang tampaknya mereka mengalami kemajuan,” kata seorang diplomat Barat di Kairo. 

“Strategi mereka tidak akan menghasilkan jalan keluar yang akan bertahan lama.”

Warga yang tidak mau disebutkan identitasnya karena takut balasan dari kaum militan dan militer Mesir mengatakan kepada Reuters bahwa angka militan yang dilaporkan militer seringkali meliputi warga sipil dan banyak warga sipil yang tewas tidak dilaporkan. 

Militer Mesir menggempur lokasi-lokasi di Sinai Utara yang didug tempat persembunyian militan Islam. Hagag Fayez, kepala kantor pemakaman di rumah sakit Arish, mengatakan antara tiga dan lima warga sipil tewas setiap hari di Sinai Utara, baik oleh pasukan keamanan atau militan. 

Pada laporan bulan September, Human Rights Watch mengatakan militer dengan paksa mengusir sekitar 3.200 keluarga dari Sinai dalam dua tahun terakhir. 

“Menghancurkan rumah dan permukiman serta lapangan kerja adalah contoh dari kekalahan dalam kampanye kontra-perlawanan,” kata Sarah Leah Shitson dari Human Rights Watch. 

Kebijakan keras Sisi terhadap militan telah membuka jalan ke kekuasaan sejak 2013, ketika sebagai kepala staf angkatan bersenjata dia menyingkirkan presiden Mohammed Mursi. 

Mursi adalah anggota Ikhwanul Muslimin, satu gerakan Islamis yang sudah berusia 87 tahun yang berhasil memenangkan pemilu bebas pertama dalam sejarah Mesir, tetapi setahun setelah berkuasa dia menghadapi aksi protes massal. 

Sisi menyingkirkannya dengan mengatakan Mursi telah kehilangan legitimasi. 

Dia kemudian melakukan penangkapan kelompok Islamis terbesar dalam sejarah Mesir; pasukan keamanan menewaskan ratusan pendukung Ikhwanul Muslimin ketika menyerang para pengunjuk rasa dan memenjarakan ribuan lainnya. 

Sisi, yang kemudian memenangkan pemilu presiden, menyebut kelompok itu sebagai gerakan teroris dan sama bahayanya dengan militan ISIS serta pendukungnya di Sinai. 

Banyak pakar keamanan Barat mengatakan bahwa upaya itu mencegah pihak berwenang membuat strategi yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas di Mesir, negara Arab berpenduduk paling besar. 

“Pendekatan Sisi terhadap kontra-terosieme hampir sejalan dengan langkah yang seharusnya tidak dilakukan,” kata Daniel Byman, pakar kontra-terorisme dari Brooking Institution. 

Dengan memperlakukan politisi dan pegiat Islamis sama dengan pejuang militan, Sisi “mengirim pesan, bahwa keikutsertaan damai lewat politik tidak akan berhasil jika anda seorang Islamis,” katanya. 

Ingin Naga Dibantai

Para pejabat intelijen Mesir mengatakan, cabang ISIS di Mesir, Provinsi Sinai, sekarang terdiri dari ratusan militan yang tersebar dalam kelompok-kelompok 5-7 orang yang sulit dideteksi. 

Mohammad Sabry, pengarang buku “Sinai: Egypt’s Linchpin, Gaza’s Lifeline, Israel’s Nightmare” mengatakan bahwa semakin lama pemerintah menjalankan kampanye kontra-terorisme yang keras di Sinai, semakin besar kemungkinan pemeirntah kehilangan kendali di semenanjung yang strategis itu. 

Mantan Presiden Mohamad Mursi yang digulingkan oleh Jenderal al-Sisi adalah anggotan Ikhwanul Muslimin. Dia menyebutkan militer membakar sebagian besar dari 60 rumah di satu desa temannya di Sinai. Dia mengatakan tiga tahun lalu hanya ada tiga militan di desa itu, sekarang jumlahnya mencapai 40 orang. 

Francis J. Ricciardone, Jr. mantan dutabesar AS di Mesir dari 2005-2008, mengatakan banyak warga Mesir mendukung kampanye anti-terorisme pemerintah Sisi. 

“Warga Mesir ketakutan dan cenderung melihat “musuh” sebagai satu kesatuan kekuatan dalam negeri dan luar negeri yang lebih menakutkan serta lebih kejam,” kata Riccoardone. 

“Oleh karena itu mereka ingin naga itu dibantai hingga tuntas, dengan kegagasan dan kenekadan yang setidaknya sama dengan sikap musuh.”

Semakin Banyak

Jika jatuhnya pesawat itu disebabkan oleh bom, Sisi bisa mempergunakannya sebagai justifikasi atas langkah-langkah lebih keras terhadap militan yang merupakan musuh paling berbahaya dan paling lama bagi pemerintah Mesir selama beberapa dekade. 

Pos-pos penjagaan ke arah Arish dijaga oleh tentara yang membawa senjata serbu. Kendaraan yang melalui jalanan padang pasir pun diperiksa dengan teliti. 

Di satu pos penjagaan Arish, polisi menghentikan kendaraan dan menarik pria yang memiliki alamat rumah di kota Rafah atau Sheikh Zuweid. Ada delapan orang yang ditahan di dalam satu mobil angkutan. 

Seorang pegiat HAM Sheikh Zuweid mengatakan selalu ada lebih banyak militan. 

“Sudah wajar bagi siapapun yang rumahnya dibakar dan keluarganya dibunuh untuk bergabung dengan kelompok militan. Mereka seperti tumbuhan rambat, yang tumbuh semakin banyak jika dipotong.”
Helikopter militer Mesir terbang di atas lokasi jatuhnya pesawat penumpang Rusia di wilayah Sinai yang menjadi lokasi perlawanan kelompok ISIS Mesir. (Reuters/Mohamed Abd El Ghany) Untuk saat ini, sementara Rusia, negara Barat dan Mesir berusaha menentukan penyebab kecelakaan pesawat itu, warga Sinai pun bertanya-tanya apakah pertempuran akan meningkat. 

Dan banyak warga mengibarkan bendera Mesir di atap rumah agar jet tempur tidak mengebom rumah mereka. (Reuters/yns)
 

Terkini