Sugianto : Sertifikat ISPO-RSPO PT Adei Harus Dicabut

Sugianto : Sertifikat ISPO-RSPO PT Adei Harus Dicabut

Metroterkini.com - Tim Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau, beberapa waktu lalu menemukan ratusan hektare lahan gambut diduga digarap tidak ikut Peraturan Pemerintah alias digarap secara ilegal. Namun hingga kini temuan tersebut masih belum ditindaklanjuti.

Tim Pansus juga menemukan lahan gambut dengan kedalaman lebih 3 meter milik sejumlah perusahaan di Pelalawan, Riau, juga ditanami sawit oleh perusahaan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, jelas gambut tiga meter atau lebih merupakan zona lindung.

Sebelumnya Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Prov Riau, Sugianto, juga sudah menyorot sejumlah perusahaan dari pembangkangan terhadap aturan pemerintah dan pelanggaran UU.

"Sejumlah perusahaan diduga tidak taat aturan, hal ini saya katakan sesuai keputusan Kementerian LHK, SK No 129/setjen/PKL.0/2/2017, tentang kawasan kesatuan hidrologi gambut nasional, yang ditanami sawit," kata Sugianto.

Sugianto malah minta kepada lembaga sertifikasi independen yang memiliki kompentensi dalam melakukan audit seperti sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk mencabut sertifikat terutama PT S\Adei Plantation di Pelalawan.

Sementara mantan Ketua Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau, Suhardiman Amby pada media menyebut, akibatnya banyak temuan lahan digarap tanpa izin maka Pemprov Riau kehilangan potensi pendapatan daerah total hingga Rp 107 triliun per tahunnya.

Hal itu kata mantan dewan DPRD Prov Riau yang getor mengejar perizinan di Riau ini, mengaku akibat hamparan perkebunan sawit tanpa izin dari temuan tersebut kalau ditotal nilainya mencapai 1,4 juta hektare di Riau.

"Akibatnya potensi penerimaan pajak Riau akan hilang, totalnya sekira Rp 107 triliun setiap tahunnya, itu kalau dihitung itu dari 1,4 juta hektare perkebunan sawit ilegal yang banyak ditemukan di bumi Lancang Kuning," kata mantan ketua Pansus pada 2016 ini.

Katanya pada 2016 lalu, Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau menemukan sedikitnya 1,4 juta hektar hutan yang disulap menjadi perkebunan sawit oleh beragam korporasi di sejumlah daerah di Riau. "Semuanya terindikasi tanpa izin alias ilegal".

"Hingga kini, terdapat tujuh perusahaan telah diseret ke ranah hukum dan sebahagian kecil diputus bersalah, sisanya mungkin menunggu," katanya.

Ia mengakui, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk menertibkan keberadaan perkebunan sawit ilegal di Riau. Namun, ia memastikan bahwa pihaknya akan terus melakukan pengawasan, termasuk berusaha melaporkan temuan itu sendiri ke penegak hukum.

"Semuanya akan dilakukan secara bertahap. Tiap bulan kami masukkan gugatan hampir 18.000 hektare. Di akhir 2020 ini, kami berharap berjalan 200 ribu hektare. Sebelumnya kita dari anggota Pansus pada 2016 lalu banyak menemukan lahan tanpa izin di Riau namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti," jelasnya.

Katanya lagi, bagian dari Pansus Monitoring 1,4 juta hektare itu. Bagian dari beberapa grup sudah dilakukan monitoring 2016 lalu, "itu yang kami minta eksekusi. Sudah taat hukum saja, kalau mau berusaha ya lakukan secara legal," tegasnya.

Selain berdiri di atas lahan tanpa izin, Datuk turut menyinggung perusahaan itu diduga telah mengemplang pajak di Riau.

Hal itu didasari temuan Pansus saat itu, bahwa perusahaan tersebut hanya mengantongi izin 1.500 hektare, sedangkan area yang digarap ternyata jauh dari izin, dengan 3.323 hektare di antaranya dinyatakan ilegal oleh pengadilan tertinggi.

Ia berharap langkah eksekusi lahan sawit tanpa izin menjadi langkah awal yang baik dalam menertibkan perkebunan ilegal di Riau. [***]

Berita Lainnya

Index