Adat Dayak Naik Dango ke-31, Ritual Khusus Rasa Syukur Hasil Panen

Adat Dayak Naik Dango ke-31, Ritual Khusus Rasa Syukur Hasil Panen

Metroterkini.com - Tarian mengantar padi hasil panen ke lumbung penyimpanan padi dalam upacara 'Naik Dango' di Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu. Upacara 'Naik Dango' merupakan tradisi yang digelar masyarakat Dayak Kanayatn sebagai ungkapan syukur kepada 'Jubata' (Tuhan) karena telah memberi panen melimpah.

Padi memberi penghidupan bagi manusia, termasuk bagi masyarakat Dayak, khususnya warga Dayak Kanayatn. Oleh karena itu, mulai dari menanam, memanen, hingga menyimpan padi diatur sedemikian rupa menggunakan ritual adat yang disebut Naik Dango. Padi dipercaya memiliki semangat atau roh. Ritual itu juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Nek Jubata (Sang Pencipta) atas hasil panen.

Di Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu, ratusan warga Dayak Kanayatn berkumpul di halaman rumah panjang, rumah adat khas suku Dayak, yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai Rumah Radakng Aya' Landak. Sebanyak 27 perwakilan dari Kabupaten Landak, Mempawah, dan Kubu Raya, menggunakan pakaian khas Dayak. Ikat kepala dihiasi bulu burung ruai, penari juga menggunakan senjata khas Dayak, mandau sebagai salah satu atribut tarian.

Sejumlah penari yang terdiri dari empat hingga tujuh orang laki-laki dan perempuan mulai meliuk-liukkan tubuh, menarikan tarian Nimang Padi sembari menebarkan senyum. Padi begitu penting dalam kehidupan sebagai sumber makanan, sehingga diperlakukan selayaknya manusia yang ditimang dan disayang dengan iringan alunan nyanyian serta peralatan musik tradisional.

Penari itu mengantarkan padi hasil panen yang masih bertangkai ke lumbung, yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai dango. Rangkaian prosesi itu disebut ngantat tangkeatn ka' dango padi. Setelah tiba di dalam lumbung padi, dilanjutkan dengan ritual inti, yakni nyangahatn atau memanjatkan doa dengan mantra.

Nyangahatn dibacakan oleh seorang Panyangahatn (orang yang memanjatkan doa). Doa yang dipanjatkan berupa syukur atas rezeki dan memanggil semangat atau roh padi agar berkumpul dalam dango serta memohon izin menggunakan padi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Setelah selesai nyangahatn, di bawah terik sinar mentari, satu per satu perwakilan dari masing-masing daerah yang terdiri dari empat sampai tujuh orang laki-laki dan perempuan, secara bergantian menari mengantarkan sumbangan atau sesajian dari halaman Rumah Radakng Aya' menuju dango. Mereka menari sambil membawa, antara lain hasil panen padi dan juga daging mentah, serta nasi ketan yang dimasak dalam bambu.

Hasil panen itu dibawa dalam sebuah tempat khusus, ada yang berbentuk kotak, dan ada pula yang berbentuk perahu naga yang dihias khusus dengan ukiran. Tempat itu dibawa sembari menari menuju dango. Rangkaian itu dinamakan Ngantat Panompo'.

Sarana interaksi

Menurut Vinsentius Syaidina Lungkar, Temanggong Binua Landak, dalam tradisi yang murni, Naik Dango sebagai sarana interaksi masyarakat Dayak Kanayatn dalam kehidupan masyarakat pada suatu wilayah yang disebut kampong. Naik Dango bisa dilaksanakan bila panen sudah selesai.    

Menurut mitologi Dayak Kanayatn, jika belum semua masyarakat panen, tetapi sudah melaksanakan Naik Dango, diyakini memanggil semangat atau roh padi yang dimiliki salah satu warga yang belum panen. "Hal itu membuat sial dan diyakini hasil panen pada tahun berikutnya bisa berkurang. Kalaupun bisa panen, padi yang ada di dango akan cepat habis," tutur Syaidina.

Dalam tradisi nenek moyang Dayak Kanayatn, Naik Dango diawali dengan pertemuan antarpenduduk di kampong sehabis panen untuk merencanakan pelaksanaan Naik Dango terlebih dahulu. Pertemuan dilaksanakan beberapa hari sebelum pelaksanaan ritual itu diselenggarakan.

Setelah diputuskan hari pelaksanaan, setiap keluarga di kampong sehari sebelumnya memasak beberapa makanan, sebagai simbol hasil dari kebudayaan agraris masyarakat, antara lain beras ketan dimasak di dalam buluh (bambu berukuran besar), dan tumpi (semacam roti cucur). Selain itu, nasi yang dibungkus dalam daun layang. Kemudian, harus disediakan pula ayam yang masih hidup.

Bahan-bahan itu dibawa ke dango bersama dengan padi hasil panen. Dalam dango dilaksanakan upacara Nyangahatn atau disebut juga Barema. Di situlah, doa-doa pun teruntai kepada Sang Pencipta atau Nek Jubata.

"Setelah ritual selesai, semua keluarga yang ada di kampong makan bersama di rumah salah satu penduduk yang biasanya ketua tani setempat. Setiap keluarga membawa menu makanan masing-masing, kemudian saling mencoba masakan satu dengan yang lainnya. Itulah tata cara pelaksanaan yang aslinya," kata Syaidina.

Pemersatu

Hingga masa modern sekarang pun, ritual Naik Dango tetap dipertahankan, tetapi dengan kemasan acara yang berbeda dan sebagai sarana pemersatu. Meskipun demikian, hal yang berkaitan dengan substansi ritual adat tetap sama seperti yang diwariskan leluhur, misalnya ritual Nyangahatn atau memanjatkan doa-doa di dalam dango tetap ada.

Dalam perkembangannya, ritual Naik Dango yang dulunya hanya diselenggarakan di kampong, sekarang diikuti perwakilan dari Kabupaten Landak, Mempawah, dan Kubu Raya. Jumlahnya ada puluhan kelompok perwakilan beranggotakan ratusan orang. Di ketiga kabupaten itulah yang dianggap menjadi persebaran masyarakat Dayak Kanayatn. Mereka yang hadir dan membawa hasil panen serta sejumlah perlengkapan untuk ritual itu disebut kontingen (pangoyokng) dari kabupaten.

Di era saat ini, penari yang mengantarkan padi ke dango pun menggunakan pakaian khas Dayak, yang ada unsur kreativitas terutama dari anak-anak muda. Corak pakaian lebih beragam kreativitasnya. Bahkan, pakaian ada yang dikolaborasikan dengan perhiasan bernuansa modern, sehingga generasi muda juga mempertahankan budaya itu, tanpa menghilangkan jati diri kebudayaan aslinya.

Tak hanya itu, di dalam rangkaian ritual Naik Dango pun saat ini diselingi dengan perlombaan tradisional, antara lain pangka' gasing, menumbak, dan menyumpit. Selain itu, ada perlombaan nyanyi lagu-lagu tradisional serta pemilihan Dara Cega' Bujakng Tarigas, artinya dara yang cantik dan pria yang tampan, semacam putri dan putra dalam kontes adat yang diikuti kalangan muda Dayak.

Lubis, Ketua Umum Dewan Adat Dayak Kabupaten Landak mengatakan, tradisi Naik Dango menjadi sebuah kegiatan tahunan yang terkoordinasi sejak 1985. Pada 2016 sudah menjadi pelaksanaan ke-31. Dalam konteks saat ini, pelaksanaan Naik Dango sebagai sarana pemersatu masyarakat Dayak khususnya Dayak Kanayatn. Selain itu, menjadi sarana meningkatkan pariwisata di Landak.

Ritual syukuran sehabis panen juga sebetulnya ada di sub suku Dayak lainnya di Kalbar. Hanya saja, sebutannya berbeda-beda. Di kalangan Dayak Jawan't, Kabupaten Sekadau, acara serupa dikenal dengan sebutan Nait Bale, sedangkan pada masyarakat Dayak Gerunggang di Kabupaten Ketapang disebut Mbaru.

Dilansir dari berbagai sumber prosesi adat kali ini dihadiri oleh Wakil Ketua MPR Oesman Sapta didampingi Gubernur Kalimantan Barat Drs. Cornelis, MH, dan Bupati Mempawah Drs. H. Ria Norsan, menghadiri prosesi Adat Dayak Naik Dango ke-31, di Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat.

Acara tersebut berlangsung di Rumah Adat Dayak Kabupaten Mempawah, dusun  Pak ona Desa Pak Laheng  Kecamatan Toho Kabupaten Mempawah, Rabu 27 April 2016.  
Acara Naik Dango ke-31, ini juga dihadiri ribuan warga masyarakat kabupaten Mempawah dan sekitarnya. Naik Dango merupakan prosesi ungkapan syukur atas hasil panen yang diperoleh. [**]

Berita Lainnya

Index